Bersiap Untuk Puasa

MAKAN SAHUR

Dari Amr bin Al-’Ash radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

“Pembeda antara puasa kita (orang Islam) dengan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim [1096]).

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata :
Membedakan diri antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir adalah perkara yang dituntut oleh syari’at. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyerupai (kekhususan) mereka. Beliau bersabda, “Selisihilah orang Majusi! Lebatkanlah jenggot dan cukurlah kumis!” (HR. Muslim [260] dengan lafazh, ‘Cukurlah kumis, biarkanlah jenggot, selisihilah orang Majusi’ dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Disahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ [3092], pen).

Maknanya biarkanlah jenggot tumbuh dan memanjang, jangan kamu potong ataupun kamu cukur habis. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud [3512] dari Ibnu Umar, disahihkan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil [1269 dan 2384, Shahih Al-Jami’ [2831] pen). Dan hendaknya makan sahur diakhirkan hingga menjelang terbitnya fajar (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/397).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah, karena sesungguhnya dalam santap sahur itu terdapat barakah.” (HR. Bukhari [1923] dan Muslim [1095]).

An-Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk bersantap sahur. Para ulama sepakat bahwa santap sahur hukumnya sunnah, bukan wajib…” (Al-Minhaj, 4/430). Al-Hafizh mengatakan, “Ibnu Mundzir menukilkan adanya ijma’ mengenai disunnahkannya makan sahur.” (Fath Al-Bari, 4/163).

Yang dimaksud dengan barakah di dalam hadits ini lebih tepat untuk diartikan dari berbagai sisi kemanfaatan. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Yang lebih utama adalah menafsirkan keberkahan di situ dapat muncul dari berbagai sisi, yaitu : mengikuti sunnah, menyelisihi Ahli Kitab, memperkuat tubuh untuk beribadah, meningkatkan semangat, menolak munculnya perilaku yang jelek akibat perut yang lapar, dapat menjadi pintu sedekah bagi orang yang dimintai (santap sahur) kalau ada yang meminta, atau berkumpul makan sahur bersama dengannya, menjadi sebab dzikir dan do’a dipanjatkan di saat mustajab, dan untuk mengingatkan niat puasa bagi orang yang lalai atau lupa meniatkannya sebelum tidur.” (Fath Al-Bari, 4/164).

MENGAKHIRKAN MAKAN SAHUR

Mengakhirkan makan sahur merupakan salah satu amalan yang disunnahkan ketika hendak berpuasa (lihat Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, hal. 129).

Dari Anas dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu’anhuma dia berkata,

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِينَ آيَةً

“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam kemudian kami pun bangkit mengerjakan shalat (Subuh).” Aku (Anas) bertanya, “Berapa lama antara keduanya?”. Zaid menjawab, “Seukuran lima puluh ayat.” (HR. Bukhari [575 dan 1921] dan Muslim [1097]). Dalam lafazh Bukhari [1921] dengan ungkapan, “Berapa jarak antara adzan dengan makan sahur?” Namun yang dimaksud dengan adzan di sini adalah iqamah (Taisir Al-’Allam, 1/359).

Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili mengatakan : Berdasarkan dalil ini Al-Baghawi berargumentasi bahwa mengakhirkan makan sahur adalah amalan yang diutamakan. Al-Baghawi mengatakan, “Para ulama menganjurkan untuk mengakhirkan makan sahur…” (Syarh As-Sunnah, 3/468. dinukil dari Tajrid Al-Ittiba’, hal. 68). Ibnu Abdil Barr juga mengatakan, “Termasuk sunnah yaitu melakukan buka puasa di awal waktu berbuka dan mengakhirkan makan sahur.” (At-Tamhid, 21/97. Dinukil dari Tajrid Al-Ittiba’, hal. 68).

An-Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk mengakhirkan santap sahur mendekati terbitnya fajar (adzan Subuh).” (Al-Minhaj, 4/430). Oleh sebab itu Bukhari meletakkan hadits ini di bawah judul bab ‘Berapa jarak antara makan sahur dan shalat Fajar’. Al-Hafizh menerangkan bahwa maksud Bukhari adalah menjelaskan rentang waktu antara selesainya makan sahur dengan dimulainya shalat, sebab yang dimaksudkan adalah ukuran waktu sehabis makan. Yang dimaksud ‘melakukan shalat’ di sini adalah permulaan mengerjakannya. Demikian keterangan Az-Zain bin Al-Munayyir (Fath Al-Bari, 4/162).

Syaikh Abdullah Al-Bassam mengatakan, “Maka dengan demikian kita mengetahui bersama bahwa pembedaan dua waktu yaitu antara waktu imsak (menahan tidak makan dan minum, pen) dan waktu terbitnya fajar adalah sebuah kebid’ahan yang sama sekali tidak ada dalilnya dari Allah. Itu hanyalah waswas yang dibisikkan oleh syaitan dalam rangka menyamarkan agama mereka. Sebab ajaran Nabi Muhammad menunjukkan bahwa imsak itu dilakukan ketika awal terbitnya fajar.” (Taisir Al-’Allam, 1/359).

Ketika menjawab pertanyaan Anas, Zaid mengungkapkan lamanya rentang waktu antara selesainya makan sahur dengan didirikannya shalat ialah seukuran bacaan lima puluh ayat. Hal ini mengindikasikan bahwa waktu tersebut biasa digunakan (para sahabat) untuk beribadah yaitu dengan tilawah (membaca Al-Qur’an). Ibnu Abi Jamrah mengatakan, “Di dalam ungkapan itu terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa waktu-waktu mereka (para sahabat) senantiasa dipenuhi dengan kegiatan ibadah, dan di dalam hadits ini juga terdapat (anjuran) untuk mengakhirkan makan sahur…”, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits di atas (Fath Al-Bari, 4/163).

Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang tawadhu’ dan suka menyenangkan hati sahabat-sahabatnya. Beliau mau makan bersama orang-orang yang kedudukannya berada di bawah beliau. Selain itu hadits itu juga menunjukkan dianjurkannya makan sahur bersama-sama dan bolehnya berjalan di waktu malam karena adanya keperluan, sebab ketika itu Zaid bin Tsabit tidaklah bermalam di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Fath Al-Bari, 4/163).

Dianjurkannya mengakhirkan makan sahur juga semakin jelas dengan adanya hadits berikut ini.

أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ قَالَ الْقَاسِمُ وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَ أَذَانِهِمَا إِلَّا أَنْ يَرْقَى ذَا وَيَنْزِلَ ذَا

Bilal biasanya mengumandangkan adzan sewaktu malam masih menyelimuti (sebelum waktu subuh, pen). Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan (yaitu adzan subuh, pen). Sebab dia tidaklah mengumandangkan adzan kecuali ketika fajar sudah terbit.”
Al-Qasim (salah satu periwayat hadits ini) mengatakan, “Jarak antara kedua adzan mereka tidak lama hanya sekitar beberapa saat, yaitu seukuran lamanya waktu antara naiknya yang ini dan turunnya yang itu.” (HR. Bukhari [1918 dan 1919] dan Muslim [1092] dari Ibnu Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu’anhuma]).

An-Nawawi mengatakan bahwa di dalam hadits ini terdapat dalil dibolehkannya mengumandangkan adzan subuh sebelum terbitnya fajar. Selain itu, hadits ini juga menunjukkan bolehnya makan, minum, dan berjima’ serta melakukan apa saja hingga terbitnya fajar (Al-Minhaj, 4/426). Beliau juga mengatakan, “Di dalam hadits ini juga terdapat dasar hukum mengenai sunnahnya makan sahur dan mengakhirkannya.” (Al-Minhaj, 4/426).

Syaikh Ibnu Utsaimin mengomentari ucapan perawi “Jarak antara kedua adzan mereka tidak lama hanya sekitar beberapa saat, yaitu seukuran lamanya waktu antara naiknya yang ini dan turunnya yang itu.” adalah ucapan yang tersisipkan dalam hadits (mudraj), bukan sabda Nabi. Sisipan ini menyimpang/syadz dan tidak sahih. Karena ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar tetap makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara kedua adzan itu cukup lama sehingga memungkinkan untuk makan, minum, dan menikmati santap sahur. Kalimat ini adalah kalimat yang lemah/dha’if dan menyimpang, tidak ada artinya sama sekali. Tatkala Zaid bin Tsabit radhiyallahu’anhu menceritakan dirinya pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka bangkit untuk melakukan shalat (Subuh), dia menerangkan bahwa jarak antara adzan keduanya seukuran lima puluh ayat. Untuk membaca lima puluh ayat itu membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit sampai seperempat jam, yaitu apabila seseorang membaca ayat Al-Qur’an dengan tartil atau sedikit lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan makan sahur hingga waktunya mepet sekali, padahal beliau itu selalu mengerjakan shalat Fajar (Subuh) di awal waktu dan tidak mengakhirkannya… Demikian keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, 3/397-398).

KAPAN WAKTU SAHUR HABIS?

Dalil lain yang menunjukkan bolehnya mengakhirkan makan sahur hingga adzan subuh berkumandang adalah firman Alah ta’ala,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Makan dan minumlah sampai jelas bagi kalian benang yang putih dari benang yang hitam yaitu terbitnya fajar…” (QS. Al-Baqarah : 187).

Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ta’ala membolehkan makan, minum serta perbuatan yang telah disebutkan sebelumnya yaitu berjima’ di bagian waktu malam yang mana saja yang diinginkan oleh orang yang sedang menjalani puasa (Ramadhan) hingga jelas terangnya sinar waktu subuh dari gelapnya malam…” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1/288).

Syaikh As-Sa’di juga menegaskan, “Di dalam ayat ini terdapat penunjukan bahwa apabila seseorang makan atau yang semacamnya dalam kondisi ragu-ragu (apakah) fajar sudah terbit maka tidak mengapa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 87).

Hal itu semakin jelas apabila kita mencermati hadits berikut ini. Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu beliau mengatakan,

أُنْزِلَتْ { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ } وَلَمْ يَنْزِلْ { مِنْ الْفَجْرِ } فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الْخَيْطَ الْأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ الْأَسْوَدَ وَلَمْ يَزَلْ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ { مِنْ الْفَجْرِ } فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Dahulu diturunkan ayat, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang yang putih dari benang yang hitam.’ Namun saat itu belum turun (kelanjutannya), ‘Yaitu terbitnya fajar’. Maka orang-orang apabila ingin berpuasa, di antara mereka ada yang mengikatkan tali di kakinya benang putih dan benang hitam. Dia akan terus makan (sahur) sampai melihat (membedakan) kedua benang itu dengan jelas. Maka sesudah itu Allah pun menurunkan (kelanjutan ayat), ‘Yaitu terbitnya fajar’. Sehingga akhirnya mereka mengetahui bahwa yang dimaksud oleh ayat itu adalah (sampai jelas perbedaan antara) malam dan siang.” (HR. Bukhari [1917 dan 4511]).

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Berdasarkan ayat dan hadits tersebut ditetapkan bahwasanya kesempatan terakhir untuk makan dan minum adalah terbitnya fajar. Seandainya ketika fajar terbit ada orang yang masih makan atau minum lantas berhenti maka puasanya tetap sempurna, meskipun dalam hal ini ada perselisihan di antara para ulama. Dan kalau dia masih makan karena mengira bahwa fajar belum terbit maka puasanya tidak batal menurut jumhur ulama, sebab ayat tersebut menunjukkan kebolehan hal itu hingga terwujud kejelasan terbitnya fajar. Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Allah menghalalkan bagimu makan dan minum selama kamu masih dalam kondisi ragu-ragu.” (Fath Al-Bari, 4/160).

BOLEHKAH MEMASUKI WAKTU SUBUH DALAM KEADAAN JUNUB?

Konsekuensi dibolehkannya makan, minum, dan berjima’ hingga terbitnya fajar bagi orang yang hendak berpuasa menunjukkan bahwa dia boleh berada dalam kondisi junub ketika subuh. Oleh sebab itu Al-Bukhari membuat bab khusus di dalam Kitab Ash-Shaum dengan judul Bab Ash-Shaa’im yushbihu junuban (Orang yang berpuasa berada dalam kondisi junub di waktu subuh) dan membawakan hadits yang menunjukkan kebolehannya. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa orang yang berpuasa boleh menjumpai waktu subuh dalam kondisi junub, baik sengaja ataupun tidak. Kesimpulan serupa juga dikatakan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied berdalil dengan ayat di atas (lihat Fath Al-Bari, 4/168 dan 173, lihat juga Al-Minhaj, 4/443).

Hal ini sebagaimana terbukti dalam hadits berikut ini. Dari dua orang isteri Nabi yaitu Ummu Salamah dan ‘Aisyah radhiyallahu’anhuma, mereka berdua menuturkan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah menjumpai waktu fajar dalam keadaan junub karena berhubungan dengan isterinya kemudian beliau pun mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari [1925, 1926] dan Muslim [1109] dengan keterangan tambahan ‘bukan karena bermimpi basah’ sebagaimana terdapat dalam riwayat Bukhari yang lain [1931 dan 1932] juga dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu’anhuma. Lihat Fath Al-Bari, 4/180).

Oleh sebab itu An-Nawawi mengatakan, “Adapun mengenai hukum masalah ini, maka segenap ulama dari berbagai penjuru telah menyepakati keabsahan puasa orang yang junub. Sama saja apakah dia junub karena mimpi basah atau jima’ (pada malam harinya, pen). Itulah pendapat yang dipegang oleh jumhur para sahabat dan tabi’in.” (Al-Minhaj, 4/444).

Untuk lebih memperjelas asal-usul munculnya keterangan Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu’anhuma di atas maka perlu kiranya kami sebutkan kisahnya secara lengkap sebagaimana tercantum dalam riwayat Muslim berikut ini.

عَنْ أَبِي بَكْرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُصُّ يَقُولُ فِي قَصَصِهِ مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُبًا فَلَا يَصُمْ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ لِأَبِيهِ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ فَانْطَلَقَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَانْطَلَقْتُ مَعَهُ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَسَأَلَهُمَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ ذَلِكَ قَالَ فَكِلْتَاهُمَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ قَالَ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى مَرْوَانَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَقَالَ مَرْوَانُ عَزَمْتُ عَلَيْكَ إِلَّا مَا ذَهَبْتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَرَدَدْتَ عَلَيْهِ مَا يَقُولُ قَالَ فَجِئْنَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَأَبُو بَكْرٍ حَاضِرُ ذَلِكَ كُلِّهِ قَالَ فَذَكَرَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَهُمَا قَالَتَاهُ لَكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ هُمَا أَعْلَمُ ثُمَّ رَدَّ أَبُو هُرَيْرَةَ مَا كَانَ يَقُولُ فِي ذَلِكَ إِلَى الْفَضْلِ بْنِ الْعَبَّاسِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ ذَلِكَ مِنْ الْفَضْلِ وَلَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَرَجَعَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَمَّا كَانَ يَقُولُ فِي ذَلِكَ قُلْتُ لِعَبْدِ الْمَلِكِ أَقَالَتَا فِي رَمَضَانَ قَالَ كَذَلِكَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ

Dari Abu Bakr, dia menuturkan : Aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu’anhu suatu saat bercerita dan mengatakan di dalam ceritanya itu bahwa “Barangsiapa yang menemui waktu fajar dalam keadaan junub maka hendaknya dia tidak berpuasa.” Aku (Abu Bakr) menceritakan hal itu kepada Abdurrahman bin Al-Harits (yaitu ayahnya sendiri). Ternyata beliau mengingkari hal itu. Lantas Abdurrahman pun berangkat menemui ‘Aisyah dan Ummu Salamah dan aku juga ikut pergi bersamanya.

Ketika kami bertemu dengan mereka berdua, beliau (Abdurrahman) menanyakan kepada mereka berdua tentang hal itu. Abdurrahman berkata : Mereka berdua mengatakan bahwa “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu subuh dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah kemudian beliau tetap berpuasa.”

Kemudian kami beranjak pergi menemui Marwan (bin Al-Hakam, gubernur kota Madinah di saat itu, pen). Lantas Abdurrahman pun menceritakan kisah itu kepadanya. Lalu Marwan mengatakan, “Aku bersumpah kepadamu, tetaplah pada pendirianmu dan temuilah Abu Hurairah untuk membantah apa yang pernah dia katakan.” Dia berkata, “Kami pun datang menemui Abu Hurairah dan saat itu Abu Bakr juga hadir di sana menyaksikan semuanya.”

Abu Bakr menceritakan : kemudian Abdurrahman pun menyampaikan masalah itu kepadanya (Abu Hurairah). Lantas Abu Hurairah berkata, “Apakah mereka berdua benar-benar telah menceritakan hal itu kepadamu?”. Abdurrahman menjawab, “Iya.” Maka Abu Hurairah mengatakan, “Mereka berdua tentu lebih mengetahui.”

Kemudian Abu Hurairah menyandarkan pendapat yang dulu pernah diucapkannya dalam masalah itu kepada (penuturan) Al-Fadhl bin Al-Abbas. Abu Hurairah berkata, “Aku hanya mendengarnya dari Al-Fadhl, dan aku tidak mendengarnya langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Hurairah pun rujuk dari pendapatnya yang dulu dalam masalah itu.

Aku (Ibnu Juraij, salah seorang periwayat hadits ini, pen) berkata kepada Abdul Malik (anak dari Abu Bakr, pen), “Apakah mereka berdua (Aisyah dan Ummu Salamah) juga mengatakan bahwa hal itu terjadi di bulan Ramadhan?”. Dia menjawab, “Memang begitu, ketika itu beliau junub (tapi) bukan karena mimpi basah, kemudian beliau tetap berpuasa.” (HR. Muslim [1109]).

Kisah ini menyimpan banyak pelajaran berharga. Di antaranya telah disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab syarahnya, yaitu :

  1. Para ulama juga menemui umara’/pemerintah dalam rangka mengingatkan mereka dalam masalah ilmu
  2. Kisah ini juga menunjukkan keutamaan Marwan bin Al-Hakam yang memiliki perhatian besar terhadap ilmu dan persoalan-persoalan agama
  3. Di dalamnya juga terdapat pelajaran penting yaitu hendaknya meneliti kebenaran kandungan informasi yang disampaikan orang kepada orang lain yang lebih mengetahuinya
  4. Keterangan periwayat perempuan lebih diunggulkan daripada keterangan periwayat lelaki dalam masalah-masalah tertentu yang memang lebih mereka mengerti dibandingkan kaum lelaki, demikian pula sebaliknya
  5. Orang yang secara langsung terlibat suatu kejadian jauh lebih mengerti daripada orang yang hanya mendapatkan kabar beritanya
  6. Keharusan untuk tetap meneladani Nabi dalam perbuatan-perbuatan beliau selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan kekhususan hal itu pada diri beliau
  7. Apabila seseorang mendengar informasi yang berbeda dari orang lain yang lebih utama darinya maka hendaknya dia membahasnya hingga jelas baginya sikap yang seharusnya dia ambil
  8. Kisah ini juga menunjukkan kepada kita bahwa hujjah yang digunakan ketika menyelesaikan perselisihan adalah dengan merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah
  9. Di dalam kisah ini juga terdapat dalil yang menegaskan diterimanya khabar/hadits Ahad, baik dari sumber lelaki ataupun perempuan
  10. Kisah ini juga menunjukkan keutamaan Abu Hurairah yang mau mengakui kebenaran (meskipun hal itu bertentangan dengan pendapatnya) dan kemauan beliau untuk rujuk kepadanya
  11. Dan pelajaran-pelajaran berharga yang lainnya. Untuk lebih lengkap silakan baca Fath Al-Bari, 4/174

Source:http: abumushlih.com

Leave a comment